Kekuasaan dan Imarah di Kalangan Bangsa Arab (bagian keempat)


KEKUASAAN DI BERBAGAI PENJURU ARAB

Di bagian muka telah kami singgung tentang kepindahan kabilah-kabilah yang berdeketan dengan Hirah mengikuti Raja Ghassan. Hanya saja subordinasi ini hanya sekedar nama, tidak dalam praktiknya. Sedangkan daerah-daerah di Jazirah Arab mempunyai kebebasan secara mutlak.

Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah, dan mengahadang musuh dari luar.

Kedudukan pemimpin kabilah di tengah kaumnya tak ubahnya kedudukan seorang raja. Anggota kabilah mengikuti apa pun pendapat pemimpinnya tatkala damai maupun perang, tidak ada yang tercecer dari penanganannya, seperti apa pun keadaannya. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti layaknya seorang pemimpin diktator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang akan ikut berbicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka. Hanya saja persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin di antara sepupu, sering membuat mereka bersikap manis di mata orang banyak, seperti bermurah hati, mengadakan jamuan, menjaga kehormatan, lemah lembut, memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tidak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada di hadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga kedudukan para penyair pada saat itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.

Pemuka atau pemimpin kabilah mempunyai hak-hak istimewa. Dia mendapatkan seperempat bagian dari harta rampasan perang, harta rampasan yang diambil untuk dirinya sendiri seblum ada pembagian, jarahan di tengah perjalanan sebelum tiba di kancah peperangan dan kelebihan pembagian harta rampasan yang memang tidak bisa dibagi di antara pasukan perang, seperti orang, kuda, dan lain-lainnya.

KONDISI POLITIK

Telah kami jelaskan tentang para penguasa di Arab. Sekarang kami jelaskan sedikit gambaran tentang kondisi politik di kalangan mereka. Kondisi politik di tiga wilayah yang ada di sekitar Jazirah Arab merupakan garis menurun, merendah, dan tidak ada tambahan mengarah ke atas. Manusia bisa dibedakan antara tuan dan budak, pemimpin dan rakyat. Para tuan, terlebih lagi seluruh Arab, berhak atas semua harta rampasan dan kekayaan, dan hamba diwajibkan membayar denda dan pajak. Dengan istilah lain yang lebih gamblang, rakyat bisa diumpamakan ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya, mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan, dan kesewenang-wenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaannya semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Mereka hanya bisa merintih dan mengeluh. Tidak berhenti sampai di sini saja, bahkan mereka masih harus menahan rasa lapar, ditekan dan mendapat berbagai macam penyiksaan dengan sikap diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikit pun.

Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah sistem diktator. Banyak yang hilang dan terabaikan. Sementara kabilah-kabilah yang berdekatan dengan wilayah ini tak pernah merasa tentram, karena mereka juga menjadi mangsa nafsu dan berbagai kepentingan. Sehingga terkadang mereka harus masuk wilayah Irak dan terkadang masuk wilayah Syam. Sedangkan kondisi kabilah-kabilah di Jazirah Arab tidak pernah rukun. Mereka lebih sering diwarnai permusuhan antar kabilah, perselisihan rasial dan agama, sehingga salah seorang pemikir mereka berkata dalam syairnya,

    “Aku hanyalah sesuatu yang dicari
    Jika ketemu ketemulah ia
    Dan jika tidak ketemu tidak ketemulah ia.”

Mereka tidak mempunyai seorang raja yang memberikan kemerdekaan, atau sandaran yang bisa dijadikan tempat kembali dan bisa diandalkan saat menghadapi kesulitan serta krisis.

Tetapi kekuasaan di Hijaz di mata bangsa Arab memiliki kehormatan tersendiri. Mereka melihat kekuasaan di Hijaz sebagai pusat kekuatan agama. Sebenarnya itu merupakan campuran antara unsur keduniaan, pemerintah, dan agama, yang berlaku di kalangan bangsa Arab dengan istilah kepemimpinan agama. Mereka berkuasa di tanah suci dengan sifatnya sebagai kekuasaan yang mengurus para penziarah Ka’bah dan pelaksana hukum syariat Ibrahim. Mereka mempunyai pembatasan masa jabatan dan bentuk-bentuk pemerintahan yang menyerupai sistem parlemen pada zaman sekarang, seperti yang sudah kita singgung di atas. Tetapi kekuasaan ini sangat lemah dan tidak mampu mengemban seperti yang terjadi saat peperangan melawan orang-orang Habasyah.

Sumber: Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurrahma al-Mubarakfuri, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan: 2 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KISAH NABI

KISAH SAHABAT

KISAH PILIHAN

Copyright © 2017 | Privacy Policy | Disclaimer | Terms of Service | Sitemap | Kisah Tauladan | Powered by Blogger